Dalam Pilsung, pemilih dan relawan perlu mengorganisir diri supaya harapan mereka ketika memilih dijadikan agenda utama pemerintahan baru. Kalau tidak nanti akan dicaplok elite yang biayai Pilpres dan Partai.
Politik
Jokowi Presiden Terpilih Indonesia
Leadership is an action, not a position. Selamat datang ke era blusukan, era horizontal yang selalu mendengar dan memperhatikan. Jangan berhenti sebelum lelah, karena butuh keberanian mencabut kumis harimau. Bukan kesulitan yang membuat kita takut, tapi ketakutanlah yang membuat kita sulit. Jadi, jangan mudah menyerah. Mulailah sebuah perjalanan dengan tujuan akhir yang jelas: Revolusi Mental. Teruslah berusaha. Sampai suatu saat tiba, sekali waktu, entah kapan, pasti datang kekuatan kebaikan.
Revolusi Mental – Angin Perubahan
Revolusi Mental adalah mengembalikan derajat manusia menjadi manusia sesungguhnya. Baik di hadapan Tuhan maupun sesama manusia. Banyak perubahan yang akan terjadi ketika hakikat manusia dikembalikan pada tempatnya. Sikap optimis dengan misi ini ditunjukkan dengan berbagai kalangan dari berbagai macam profesi bergabung mendukung Revolusi Mental. Hingga sekarang sudah tampak bagaimana semua profesi bersama-sama serentak membawa virus perubahan mental di seluruh Indonesia.
Indonesia bisa menjadi sebuah taman bunga yang wangi dan indah. Yang selanjutnya membawa angin perubahan pada dunia.
Jokowi dan Kebimbangan Pilihan
Siang ini, Indonesia mendapatkan sebuah kabar monumental yang mungkin akan menjadi salah satu tonggak penting dari pertumbuhan demokrasi di Indonesia. Akhirnya, Gubernur DKI Jakarta Ir. H. Joko Widodo dicalonkan menjadi calon presiden oleh PDI Perjuangan, partai tempatnya bernaung, melalui keputusan Megawati Soekarnoputri sang Ketua Umum. Diresmikan melalui tulisan tangan langsung dari putri Sang Proklamator, Joko Widodo membuat sebuah sejarah baru sebagai produk demokrasi Indonesia yang terus bertumbuh ke arah yang lebih baik. Dari pencalonan tersebut, terlihat ada beberapa poin menarik yang akan mengubah total pemetaan persaingan dalam Pilpres 2014.
Sejak dua tahun lalu ketika Joko Widodo yang dicalonkan oleh PDI Perjuangan terpilih menjadi Gubernur DKI Jakarta didampingi Basuki Tjahja Purnama (Ahok) dari Partai Gerindra, bangsa ini seperti mendapatkan setetes harapan dari dahaga untuk melihat pejabat-pejabat publik berdedikasi dan tanpa ragu untuk melayani rakyat. Dengan tidak mengesampingkan prestasi dari pejabat-pejabat publik berprestasi lainnya seperti Bu Risma (Surabaya), Kang Emil (Bandung), dll., dan ditambah dengan keuntungan posisi strategis DKI Jakarta sebagai etalase Indonesia, Jokowi-Ahok telah membuat rakyat Indonesia tersentak untuk bangun dan menggelorakan kembali cita-cita reformasi yang sempat menurun secara signifikan akibat masalah-masalah pelik karena tingkah laku elit negara ini, termasuk kasus Cicak vs Buaya yang sempat menyita energi pemerintahan kini, dan bertahannya politisi-politisi tua di tingkat atas pimpinan negri sehingga menghambat regenerasi. Jokowi-Ahok telah membuat rakyat Indonesia mulai melihat tipe pemimpin yang telah dirindukan selama 16 tahun reformasi. Terobosan-terobosan yang telah mulai mengurai keruwetan penanganan ibukota yang telah mengendap selama puluhan tahun menjadi bukti bagi kegigihan Jokowi-Ahok dalam menciptakan Jakarta Baru, yang diharapkan menjadi tonggak sebuah Indonesia Baru menuju pencapaian cita-cita reformasi.
Namun demikian, majunya Jokowi menjadi capres dari PDI Perjuangan juga mungkin akan membuat Prabowo Subianto, capres Partai Gerinda (tempat Ahok bernaung), kepanasan karena elektabilitas Jokowi yang jauh lebih tinggi dibanding dirinya sendiri. Lima tahun lalu (2009), saya pernah menulis mengenai Satria Piningit bangsa ini, apakah JK pada tahun 2009 ataukah Prabowo tahun 2014. Ketika akhirnya SBY terpilih untuk periode kedua, pilihannya hanya tinggal Prabowo seorang. Namun ketika itu Jokowi masih hanyalah seorang walikota di kota kecil Solo yang belum terpilih untuk periode kedua dengan secara fenomenal merebut 90,09% suara rakyat Solo. Pun ketika Jokowi-Ahok dicalonkan oleh PDI Perjuangan dan Partai Gerindra, banyak pendapat mencemaskan posisi Jokowi-Ahok sebagai boneka Prabowo demi memuluskan jalannya merebut kursi RI-1, seperti Tempo yang sempat membuat cover bergambar Prabowo yang menutup wajah dengan separuh gambar wajah Jokowi. Namun akhirnya, Sang Gubernur kurus kering akhirnya malah menjadi lawan tangguh bagi Sang Jenderal untuk memperebutkan singgasana kepresidenan. Jokowi sebagai batu loncatan Prabowo akhirnya menjadi batu licin yang sangat mungkin sanggup membuat Prabowo terpeleset dari lompatannya menuju Istana Negara.
Majunya Jokowi juga membuat rakyat Jakarta menjadi bimbang. Di satu sisi mesin Jakarta sedang panas-panasnya bergerak memperbaiki ibukota negara dari segala macam persoalannya. Dan panasnya mesin tersebut dipelopori oleh cekatannya pasangan Jokowi-Ahok yang seperti Soekarno-Hatta itu. Di sisi lain, rakyat Jakarta juga sadar bahwa sebagai ibukota, permasalahan Jakarta tidak bisa diselesaikan lewat kesigapan Gubernur dan Wakil Gubernur saja. Banyak kebijakan dan aturan di Jakarta adalah wewenang dan tanggungjawab pemerintah pusat. Karena itulah mereka membutuhkan keserasian antara Gubernur Jakarta dan Presiden Indonesia. Jika Jokowi terpilih menjadi presiden dan Ahok menjadi Gubernur DKI menggantikannya, maka Jokowi-Ahok adalah pasangan serasi bukan? Di samping itu, rakyat Jakarta juga harus mencoba merelakan Gubernur kesayangan mereka yang sudah akan dipinang Indonesia menjadi pemimpin semua. Namun sebaliknya, secara terselubung masih ada arus ekstrim yang tidak menginginkan Ahok, seorang Ci*a dan ka*ir untuk memimpin ibukota. Walau antipati itu didasari lupa, bahwa jika menjadi Gubernur DKI dia bukanlah pemimpin DKI non-muslim pertama. Sejak jaman Bung Karno Henk Ngantung telah mempelopori itu, dengan Tugu Selamat Datang menjadi salah satu warisannya. Akhirnya, hal-hal besar tersebut telah menjadi kompleksitas yang harus dipertimbangkan oleh warga Jakarta.
Selama 5 tahun terakhir, Prabowo Subianto telah menjadi jagoan tanpa tanding di percaturan bakal calon presiden RI. Bahkan selama lebih dari 5 tahun Prabowo terus menerus mendekatkan diri pada rakyat Indonesia demi meraih suara mayoritas pada Pilpres 2009/2014. Jika 2009 dia gagal karena terpaksa menjadi Cawapres alibat kurangnya persentase suara Gerindra untuk mencalonkan Presiden secara mandiri, maka 2014 akan menjadi penentu karir Prabowo. Jika Gerindra akhirnya bisa menjadi pemenang Pilpres 2014, atau minimal 3 besar dengan suara sekitar 15%-18%, maka jalannya menjadi Presiden RI ke-7 akan semakin mulus. Namun jika PDI Perjuangan, dengan pengaruh Jokowi Effect, akhirnya mencapai 20% sebagai batas minimal pencalonan presiden, atau bahkan 27,02% seperti target mereka, maka Jokowi akan punya modal kuat untuk menjegal Sang Jenderal. Jangan dilupakan pula Aburizal Bakrie (Partai Golkar) dan Dahlan Iskan/Anies Baswedan (Partai Demokrat) yang mungkin akan menjadi kuda hitam di Pilpres 9 Juli 2014. Jika pun akhirnya hanya Prabowo dan Jokowi yang maju menjadi capres, maka Pilpres akan menjadi ajang yang sangat seru dengan persaingan tajam seperti Pilpres di Amerika Serikat. Jika ada tiga/lebih kandidat, maka malah kandidat di luar Prabowo dan Jokowi yang akan menentukan kelanjutan Pilpres, dengan melihat irisan pendukungnya terhadap Prabowo atau Jokowi.
Di luar itu semua, kemunculan Jokowi sendiri adalah sebuah fenomena. Apakah fenomena tersebut akan berlanjut di tataran pimpinan negeri? ataukah Sang Jenderal yang akhirnya bisa meraih mimpi? Pilpres 2014 itu sendiri adalah gerbang masuk yang menentukan nilai kompetitif dari Indonesia dalam globalisasi yang akan masuk fase tingkat penuh ASEAN tahun depan. Apakah Jokowi dengan kesederhanan dan kecekatannya yang akan memimpin melalui masa penentuan? ataukan Prabowo yang akan memimpin menuju masa keemasan? Rakyat Indonesia yang akan menjawabnya.
Indonesia: Menuju Orde terBaru
Reformasi, kata itu masih sering terdengar di telinga kita bahkan -relatif- sudah tertanam dalam diri anak muda yang mengaku intelek semenjak dikumandangkan sebagai jargon perubahan secara nasional sekitar 10 tahun yang lalu. Kata itu menjadi lawan tanding sepadan dan akhirnya menang melawan stabilitas nasional ala Raja Harta Yang Baik pada jaman yang disebut Orde Baru. Jaman tersebut tetap dinamai dan dikenal dengan nama “Baru” walau sudah ada di negara ini selama 32 tahun, menggantung dari atas untuk mengawasi dan mengakar di bawah untuk mempengaruhi.
Setelah 10 tahun terbang dari mulut satu ke telinga yang lain, membangkitkan semangat nasionalis yang ironisnya dijunjung tinggi ketika Orde Baru merebut tampuk tanda tangan penyerahan kekuasaan, reformasi lambat laun menjadi sebuah cara ampuh untuk dapat disorot oleh media massa dan mendaki tangga berjalan yang dipercepat ke dalam komunitas elite di negeri ini yang ternyata masih e-lite. Orang-orang muda yang mengaku intelek yang membawa semangat reformasi secara pelan tapi pasti (Ya! Pasti!) berubah menjadi singa-singa buas yang berusaha meraih puncak kekuasaan dan mengubah negara ini sesuai keinginan mereka.
“Sesuai keinginan mereka”? Ya! Sesuai keinginan mereka dan diperparah dengan para penyandang dana dan penyandang koneksi yang juga “menitipkan” jargon pribadi ke dalam suasana perang yang dipoles menjadi “reformasi,” “perubahan.” Ada yang menyebarkan orang-orang yang disegani -walau sebenarnya idiot- ke seluruh Indonesia untuk mempengaruhi setiap “lawan” politik, atau lebih tepatnya lawan ideologi, yang berpotensi merusak rencana mereka pada waktu “4 November” made in Indonesia. Ada juga yang menggunakan media visual sebagai tempat ampuh mendoktrin para pemuda-pemudi culun yang tidak tahu apa-apa menjadi pendukung setia yang membabi butabisutuli.
Melihat kenyataan (kenyataan! bukan perasaan!) yang ternyata mengingkari semangat “change we can believe in” seorang keturunan Afro-Amerika dari negara yang dibenci oleh sebagian besar penduduk Indonesia, semangat “reformasi” yang sesungguhnya, negara ini sepertinya sedang dalam perjalanan menuju sebuah masa, sebuah jaman baru yang bisa-bisa cocok untuk dinamai “Orde terBaru.”
Masihkah ada dalam ingatan Anda ketika ada saudara Anda tiba-tiba menghilang karena membawa jargon “reformasi”? Bagaimana kalau ternyata “Orde terBaru” akan mengulanginya lagi ketika menemui seseorang atau sekumpulan orang yang berseberangan ideologi? Kejadian hilangnya seorang aktivis lingkungan di kota Bandung mungkin bisa menjadi contoh kongkrit.
Masihkah dapat digali di endapan ingatan Anda ketika lembaga-lembaga negara dibentuk sebagai kepanjangan dari sulur penguasa untuk mempengaruhi masyarakat dan melibas semua “gangguan” yang berpotensi mengusik kenyamanan penguasa? Bagaimana kalau ternyata “Orde terBaru” akan membentuk lembaga-lembaga yang lebih membela kepentingan penguasa, kepentingan yang banyak, dan menyumpal mulut yang lebih lemah?
Atau yang lain, seperti disebutkan di bagian atas, masihkah teringat ketika keadilan menjadi simbol angkuh untuk menunjung tinggi stabilitas nasional, yang membawa Indonesia menuju banyak perpecahan terselubung yang akhirnya membuat kita terpaksa melepas wilayah pulau Timor bagian Timur? Lambat tapi pasti kenyataan mulai memperlihatkan masa perpecahan terselubung di dalam lapisan masyarakat yang akan ditutup-tutupi dengan jargon stabilitas nasional ala “Orde terBaru.”
Waktu corat-coret kertas mahal akan datang, menentukan perjalanan negara ini. Mau dibawa kemana, mau dijadikan seperti apa. Jika memang peduli pada perut sendiri dan pada orang lain, marilah berpikir cerdas. Benar-benar cerdas untuk memilah benar dan salah tanpa salah kaprah terhadap baik dan buruk. Negara ini butuh kita, karena rakyat itu adalah salah satu dari 3 elemen utama agar sebuah hal bisa disebut negara. Jika memang Orde Baru sudah terbukti memiliki lebih banyak momen kehancuran daripada keberhasilan, apakah “Orde terBaru” akan benar-benar tercipta?
Kepastian masih bisa diubah!