Reformasi, kata itu masih sering terdengar di telinga kita bahkan -relatif- sudah tertanam dalam diri anak muda yang mengaku intelek semenjak dikumandangkan sebagai jargon perubahan secara nasional sekitar 10 tahun yang lalu. Kata itu menjadi lawan tanding sepadan dan akhirnya menang melawan stabilitas nasional ala Raja Harta Yang Baik pada jaman yang disebut Orde Baru. Jaman tersebut tetap dinamai dan dikenal dengan nama “Baru” walau sudah ada di negara ini selama 32 tahun, menggantung dari atas untuk mengawasi dan mengakar di bawah untuk mempengaruhi.

Setelah 10 tahun terbang dari mulut satu ke telinga yang lain, membangkitkan semangat nasionalis yang ironisnya dijunjung tinggi ketika Orde Baru merebut tampuk tanda tangan penyerahan kekuasaan, reformasi lambat laun menjadi sebuah cara ampuh untuk dapat disorot oleh media massa dan mendaki tangga berjalan yang dipercepat ke dalam komunitas elite di negeri ini yang ternyata masih e-lite. Orang-orang muda yang mengaku intelek yang membawa semangat reformasi secara pelan tapi pasti (Ya! Pasti!) berubah menjadi singa-singa buas yang berusaha meraih puncak kekuasaan dan mengubah negara ini sesuai keinginan mereka.

“Sesuai keinginan mereka”? Ya! Sesuai keinginan mereka dan diperparah dengan para penyandang dana dan penyandang koneksi yang juga “menitipkan” jargon pribadi ke dalam suasana perang yang dipoles menjadi “reformasi,” “perubahan.” Ada yang menyebarkan orang-orang yang disegani -walau sebenarnya idiot- ke seluruh Indonesia untuk mempengaruhi setiap “lawan” politik, atau lebih tepatnya lawan ideologi, yang berpotensi merusak rencana mereka pada waktu “4 November” made in Indonesia. Ada juga yang menggunakan media visual sebagai tempat ampuh mendoktrin para pemuda-pemudi culun yang tidak tahu apa-apa menjadi pendukung setia yang membabi butabisutuli.

Melihat kenyataan (kenyataan! bukan perasaan!) yang ternyata mengingkari semangat “change we can believe in” seorang keturunan Afro-Amerika dari negara yang dibenci oleh sebagian besar penduduk Indonesia, semangat “reformasi” yang sesungguhnya, negara ini sepertinya sedang dalam perjalanan menuju sebuah masa, sebuah jaman baru yang bisa-bisa cocok untuk dinamai “Orde terBaru.”

Masihkah ada dalam ingatan Anda ketika ada saudara Anda tiba-tiba menghilang karena membawa jargon “reformasi”? Bagaimana kalau ternyata “Orde terBaru” akan mengulanginya lagi ketika menemui seseorang atau sekumpulan orang yang berseberangan ideologi? Kejadian hilangnya seorang aktivis lingkungan di kota Bandung mungkin bisa menjadi contoh kongkrit.

Masihkah dapat digali di endapan ingatan Anda ketika lembaga-lembaga negara dibentuk sebagai kepanjangan dari sulur penguasa untuk mempengaruhi masyarakat dan melibas semua “gangguan” yang berpotensi mengusik kenyamanan penguasa? Bagaimana kalau ternyata “Orde terBaru” akan membentuk lembaga-lembaga yang lebih membela kepentingan penguasa, kepentingan yang banyak, dan menyumpal mulut yang lebih lemah?

Atau yang lain, seperti disebutkan di bagian atas, masihkah teringat ketika keadilan menjadi simbol angkuh untuk menunjung tinggi stabilitas nasional, yang membawa Indonesia menuju banyak perpecahan terselubung yang akhirnya membuat kita terpaksa melepas wilayah pulau Timor bagian Timur? Lambat tapi pasti kenyataan mulai memperlihatkan masa perpecahan terselubung di dalam lapisan masyarakat yang akan ditutup-tutupi dengan jargon stabilitas nasional ala “Orde terBaru.”

Waktu corat-coret kertas mahal akan datang, menentukan perjalanan negara ini. Mau dibawa kemana, mau dijadikan seperti apa. Jika memang peduli pada perut sendiri dan pada orang lain, marilah berpikir cerdas. Benar-benar cerdas untuk memilah benar dan salah tanpa salah kaprah terhadap baik dan buruk. Negara ini butuh kita, karena rakyat itu adalah salah satu dari 3 elemen utama agar sebuah hal bisa disebut negara. Jika memang Orde Baru sudah terbukti memiliki lebih banyak momen kehancuran daripada keberhasilan, apakah “Orde terBaru” akan benar-benar tercipta?

Kepastian masih bisa diubah!