Bahkan dalam kegelapan yang paling gulita sekali pun kita punya hak untuk mengharapkan seberkas cahaya, dan seberkas cahaya semacam itu akan lebih banyak datang bukan terutama dari teori dan konsep-konsep, akan tetapi dari sinar yang tak pasti, berpendaran, dan sering kali lemah lembut yang telah dibiaskan oleh pribadi-pribadi besar dalam hidup dan karyanya, yang mereka pancarkan sepanjang rentang waktu yang diberikah oleh hidup kepadanya.
Kalimat bergelombang itu ditulis Hannah Arendt dalam buku “Man in the Dark Times”, sebuah buku yang berisi uraian Arendt tentang riwayat beberapa tokoh dan filsuf penting dengan teknik eksposisi yang akrab, intens tapi juga tajam. Dengan kalimat itu, Arendt hendak mengatakan betapa mereka — pribadi-pribadi besar yang sudah tiada– yang dalam kekalahan dan kematiannya pun tetap berjaya, entah lagi jika mereka menang dan hidup, dan karena itulah mereka yang hidup masih akan merasa perlu untuk menggapai-gapai lagi pendar cahaya yang mereka biaskan tiap kali kegelapan dirasakan datang.
Saya kira, metafora “pendar cahaya” itu juga berlaku untuk Gus Dur. Pendar cahaya yang dibiaskan oleh hidup dan kematian Gus Dur adalah sejenis cahaya yang berpendaran di tapal batas: sebab di sanalah, di tapal batas itu, Gus Dur tak henti-hentinya menerabas sekat, menjebol demarkasi dan –seperti arti nama kecilnya yaitu “ad-dakhil”– mendobrak tembok-tembok yang membatasi perserawungan antar sesama manusia, antar umat beragama, antara para penganut aneka ragam ideologi.
Indonesia adalah negeri yang diberkahi –atau mungkin dikutuk, tergantung bagaimana menghayatinya– keragaman yang begitu kaya. Dalam hamparan keragaman itu, “batas-batas” melela di mana-mana sekaligus menjadi sesuatu yang konkrit: ada batas antar agama, ada batas antar suku, ada batas antar budaya, ada batas antar ras….
Gus Dur adalah eksemplar terbaik kekayaan keragaman itu, bahkan itu tercermin dari jelujur kehidupannya sendiri. Ia seorang kyai, tapi juga bukan kyai. Ia suka mendengarkan gendhing Jawa, shalawat, Mozart hingga Janis Joplin. Ia belajar sastra Arab di Baghdad, tapi ia membaca Malraux dan mengaku Faulkner sebagai sastrawan yang prosanya paling sukar dipahami. Ia seorang budayawan [pernah jadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta], penggemar film kelas kakap [dua kali jadi ketua dewan juri FFI], komentator sepakbola yang brilian, juru kampanye dunia pesantren yang gigih, bla bla bla… Ia seorang yang lahir dari kultur tradisional, dan selamanya menjunjung tinggi akar itu, tapi adakah yang lebih modern sekaligus kontemporer dibandingkan dirinya dalam soal keagamaan?
Dilimpahi oleh keragaman kategori dan batasan itulah Gus Dur muncul dan –barangkali– karena itulah tak ada yang melebihi dirinya dalam soal memahami pentingnya melintasi keragaman kategori dan perbatasan macam itu.
Dalam persilangan begitu banyak keragaman dan batas-batas itulah Gus Dur berkiprah, melebarkan sayapnya, mewedarkan ajarannya; kadang dengan gerak yang serabutan, seringkali dengan langkah-langkah taktis yang brilian, kadang dengan tulisan-tulisan yang polemis, seringkali dengan lelucon yang cerdas, kadang dengan perhitungan yang cermat, seringkali dengan gerak yang seperti hanya menurutkan naluri.
Kita melihatnya bisa berteman dengan Ibu Bagus Oka [Hindu], Romo Mangun [Katolik], Franz Magnis Suseno [WNI berdarah Jerman], Jaya Suprana [berdarah Tionghoa], meminta maaf pada para keluarga PKI atas nasib rutin nan mengenaskan yang mesti mereka telan puluhan tahun lamanya, mengakui Konghucu, menabalkan Imlek sebagai hari besar nasional, menghapuskan SKBRI, mengganti nama Irian dengan Papua, menyetujui Aceh menyandang nama Nangroe Aceh Darussalam.
Di situ, batas rasial, provinsial, ideologi, iman dan agama diterobos sekaligus dilintasi tanpa harus memaksa satu sama lain menghilangkan identitasnya. Batas-batas itu [coba] dilumerkan, atau lebih tepat dilintasi. Atau, seperti kata Goenawan Mohamad, jangan-jangan batas-bataslah yang melintasi Gus Dur?
Agaknya yang terakhir itu juga tidak sepenuhnya salah. Lihatlah bagaimana banyak toko-toko yang dimiliki warga keturunan Tionghoa ditutup di Medan, klenteng-klenteng dan gereja memanjatkan doa, beberapa bikku datang ke Tebuireng, juga orang-orang yang sempat berpisah haluan politiknya kembali rukun berduyunan –setidaknya di hari ia dimakamkan. Kita ingat, dulu, saat Andre Feillard –peneliti dari Prancis– mendengar kabar keliru tentang kematian Gus Dur, ia yang mengaku atheis pun pergi ke katedral untuk mendoakannya. Untuk Gus Dur, kendati saat itu kabarnya salah, Feillard sudah melintasi batasnya sendiri.
Jika dulu ia menghabiskan ribuan hari dalam hidupnya untuk melintasi tapal batas, kali ini — di garis perbatasan antara kehidupan dan kematiannya– tapal batas yang ganti melintasinya, mendekatinya, menjenguknya, mengantarkannya.
Bahwa ia dikuburkan pada 31 Desember, hari yang menjadi tapal batas pergantian tahun, itu hanya menjadi penegasan terakhir betapa –sekali lagi– Gus Dur memang hidup untuk melintasi perbatasan, dan kali ini biarlah perbatasan itu yang melintasinya!
Dan di situ pula, di tapal batas itu, pendar cahaya yang ditinggalkan Gus Dur akan tetap terbiaskan, jadi pegangan bagi siapa saja yang butuh jalan terang tiap kali gamang saat berada di perbatasan.