Leadership is an action, not a position. Selamat datang ke era blusukan, era horizontal yang selalu mendengar dan memperhatikan. Jangan berhenti sebelum lelah, karena butuh keberanian mencabut kumis harimau. Bukan kesulitan yang membuat kita takut, tapi ketakutanlah yang membuat kita sulit. Jadi, jangan mudah menyerah. Mulailah sebuah perjalanan dengan tujuan akhir yang jelas: Revolusi Mental. Teruslah berusaha. Sampai suatu saat tiba, sekali waktu, entah kapan, pasti datang kekuatan kebaikan.
Presiden
Jokowi dan Kebimbangan Pilihan
Siang ini, Indonesia mendapatkan sebuah kabar monumental yang mungkin akan menjadi salah satu tonggak penting dari pertumbuhan demokrasi di Indonesia. Akhirnya, Gubernur DKI Jakarta Ir. H. Joko Widodo dicalonkan menjadi calon presiden oleh PDI Perjuangan, partai tempatnya bernaung, melalui keputusan Megawati Soekarnoputri sang Ketua Umum. Diresmikan melalui tulisan tangan langsung dari putri Sang Proklamator, Joko Widodo membuat sebuah sejarah baru sebagai produk demokrasi Indonesia yang terus bertumbuh ke arah yang lebih baik. Dari pencalonan tersebut, terlihat ada beberapa poin menarik yang akan mengubah total pemetaan persaingan dalam Pilpres 2014.
Sejak dua tahun lalu ketika Joko Widodo yang dicalonkan oleh PDI Perjuangan terpilih menjadi Gubernur DKI Jakarta didampingi Basuki Tjahja Purnama (Ahok) dari Partai Gerindra, bangsa ini seperti mendapatkan setetes harapan dari dahaga untuk melihat pejabat-pejabat publik berdedikasi dan tanpa ragu untuk melayani rakyat. Dengan tidak mengesampingkan prestasi dari pejabat-pejabat publik berprestasi lainnya seperti Bu Risma (Surabaya), Kang Emil (Bandung), dll., dan ditambah dengan keuntungan posisi strategis DKI Jakarta sebagai etalase Indonesia, Jokowi-Ahok telah membuat rakyat Indonesia tersentak untuk bangun dan menggelorakan kembali cita-cita reformasi yang sempat menurun secara signifikan akibat masalah-masalah pelik karena tingkah laku elit negara ini, termasuk kasus Cicak vs Buaya yang sempat menyita energi pemerintahan kini, dan bertahannya politisi-politisi tua di tingkat atas pimpinan negri sehingga menghambat regenerasi. Jokowi-Ahok telah membuat rakyat Indonesia mulai melihat tipe pemimpin yang telah dirindukan selama 16 tahun reformasi. Terobosan-terobosan yang telah mulai mengurai keruwetan penanganan ibukota yang telah mengendap selama puluhan tahun menjadi bukti bagi kegigihan Jokowi-Ahok dalam menciptakan Jakarta Baru, yang diharapkan menjadi tonggak sebuah Indonesia Baru menuju pencapaian cita-cita reformasi.
Namun demikian, majunya Jokowi menjadi capres dari PDI Perjuangan juga mungkin akan membuat Prabowo Subianto, capres Partai Gerinda (tempat Ahok bernaung), kepanasan karena elektabilitas Jokowi yang jauh lebih tinggi dibanding dirinya sendiri. Lima tahun lalu (2009), saya pernah menulis mengenai Satria Piningit bangsa ini, apakah JK pada tahun 2009 ataukah Prabowo tahun 2014. Ketika akhirnya SBY terpilih untuk periode kedua, pilihannya hanya tinggal Prabowo seorang. Namun ketika itu Jokowi masih hanyalah seorang walikota di kota kecil Solo yang belum terpilih untuk periode kedua dengan secara fenomenal merebut 90,09% suara rakyat Solo. Pun ketika Jokowi-Ahok dicalonkan oleh PDI Perjuangan dan Partai Gerindra, banyak pendapat mencemaskan posisi Jokowi-Ahok sebagai boneka Prabowo demi memuluskan jalannya merebut kursi RI-1, seperti Tempo yang sempat membuat cover bergambar Prabowo yang menutup wajah dengan separuh gambar wajah Jokowi. Namun akhirnya, Sang Gubernur kurus kering akhirnya malah menjadi lawan tangguh bagi Sang Jenderal untuk memperebutkan singgasana kepresidenan. Jokowi sebagai batu loncatan Prabowo akhirnya menjadi batu licin yang sangat mungkin sanggup membuat Prabowo terpeleset dari lompatannya menuju Istana Negara.
Majunya Jokowi juga membuat rakyat Jakarta menjadi bimbang. Di satu sisi mesin Jakarta sedang panas-panasnya bergerak memperbaiki ibukota negara dari segala macam persoalannya. Dan panasnya mesin tersebut dipelopori oleh cekatannya pasangan Jokowi-Ahok yang seperti Soekarno-Hatta itu. Di sisi lain, rakyat Jakarta juga sadar bahwa sebagai ibukota, permasalahan Jakarta tidak bisa diselesaikan lewat kesigapan Gubernur dan Wakil Gubernur saja. Banyak kebijakan dan aturan di Jakarta adalah wewenang dan tanggungjawab pemerintah pusat. Karena itulah mereka membutuhkan keserasian antara Gubernur Jakarta dan Presiden Indonesia. Jika Jokowi terpilih menjadi presiden dan Ahok menjadi Gubernur DKI menggantikannya, maka Jokowi-Ahok adalah pasangan serasi bukan? Di samping itu, rakyat Jakarta juga harus mencoba merelakan Gubernur kesayangan mereka yang sudah akan dipinang Indonesia menjadi pemimpin semua. Namun sebaliknya, secara terselubung masih ada arus ekstrim yang tidak menginginkan Ahok, seorang Ci*a dan ka*ir untuk memimpin ibukota. Walau antipati itu didasari lupa, bahwa jika menjadi Gubernur DKI dia bukanlah pemimpin DKI non-muslim pertama. Sejak jaman Bung Karno Henk Ngantung telah mempelopori itu, dengan Tugu Selamat Datang menjadi salah satu warisannya. Akhirnya, hal-hal besar tersebut telah menjadi kompleksitas yang harus dipertimbangkan oleh warga Jakarta.
Selama 5 tahun terakhir, Prabowo Subianto telah menjadi jagoan tanpa tanding di percaturan bakal calon presiden RI. Bahkan selama lebih dari 5 tahun Prabowo terus menerus mendekatkan diri pada rakyat Indonesia demi meraih suara mayoritas pada Pilpres 2009/2014. Jika 2009 dia gagal karena terpaksa menjadi Cawapres alibat kurangnya persentase suara Gerindra untuk mencalonkan Presiden secara mandiri, maka 2014 akan menjadi penentu karir Prabowo. Jika Gerindra akhirnya bisa menjadi pemenang Pilpres 2014, atau minimal 3 besar dengan suara sekitar 15%-18%, maka jalannya menjadi Presiden RI ke-7 akan semakin mulus. Namun jika PDI Perjuangan, dengan pengaruh Jokowi Effect, akhirnya mencapai 20% sebagai batas minimal pencalonan presiden, atau bahkan 27,02% seperti target mereka, maka Jokowi akan punya modal kuat untuk menjegal Sang Jenderal. Jangan dilupakan pula Aburizal Bakrie (Partai Golkar) dan Dahlan Iskan/Anies Baswedan (Partai Demokrat) yang mungkin akan menjadi kuda hitam di Pilpres 9 Juli 2014. Jika pun akhirnya hanya Prabowo dan Jokowi yang maju menjadi capres, maka Pilpres akan menjadi ajang yang sangat seru dengan persaingan tajam seperti Pilpres di Amerika Serikat. Jika ada tiga/lebih kandidat, maka malah kandidat di luar Prabowo dan Jokowi yang akan menentukan kelanjutan Pilpres, dengan melihat irisan pendukungnya terhadap Prabowo atau Jokowi.
Di luar itu semua, kemunculan Jokowi sendiri adalah sebuah fenomena. Apakah fenomena tersebut akan berlanjut di tataran pimpinan negeri? ataukah Sang Jenderal yang akhirnya bisa meraih mimpi? Pilpres 2014 itu sendiri adalah gerbang masuk yang menentukan nilai kompetitif dari Indonesia dalam globalisasi yang akan masuk fase tingkat penuh ASEAN tahun depan. Apakah Jokowi dengan kesederhanan dan kecekatannya yang akan memimpin melalui masa penentuan? ataukan Prabowo yang akan memimpin menuju masa keemasan? Rakyat Indonesia yang akan menjawabnya.
Enam Lima, Pensiun Generasi Pertama
Indonesia tidak sehat, namun Indonesia masih dan akan terus mampu ke masa depan melihat. Indonesia tidak berjalan tegak, namun Indonesia masih berjalan dengan gagah dan terus bergerak. Enam lima usianya, masih enam lima dan akan terus bertambah sampai angka tidak terbatas bahkan melebihi googol yang terbatas. Enam lima usianya, masih enam lima dibandingkan banyak negara lain yang melebihi, dan banyak negara lain yang kurang dari.
Entah itu hakim agung, presiden, menteri, atau karyawan swasta, inilah batas alami ketika generasi yang lahir sebelum 45 mencapai titik istirahat. Mereka butuh istirahat sebagaimana profesor-pun membutuhkan ketenangan disaat otaknya masih terlalu brilian untuk diistirahatkan. Enam lima takkan menghapus mereka, namun enam lima adalah saat yang tepat untuk melepaskan segala ambisi yang masih menderu untuk memimpin bangsa. Berubahlah menjadi penuntun, dan teruslah menuntun. Namun tuntunan orang tua jangan pernah menjadi pengendali atas masa depan bangsa ini.
Bisa dilihat, salah satu tanda dimulai dari dekan termuda suatu fakultas bergengsi, dilanjutkan ketua umum suatu partai besar, dan terus menerus berlanjut menjadi pergantian massal pemegang tongkat estafet itu. Kepercayaan yang tadinya berisi kesinisan mengenai kemampuan, hendaknya dilebur dengan kebutuhan untuk memberdayakan modal. Dua ratus dua puluh juta bukan angka yang kecil untuk mencari jutaan penerus yang (minimal) akan sebanding dengan generasi pertama pada puncak jayanya.
Amputasi massal, mungkin itu mimpi ideal dalam suatu ide yang bengal. Inilah faktanya. Fakta tak kasat mata untuk dapat mengakui bahwa amputasi massal sedang berlangsung. Bukan amputasi karena kecacatan, namun amputasi ranting-ranting sebuah negara untuk mempersilahkan tumbuhnya tunas-tunas baru menjadi batang yang lebih perkasa. Indonesia akan terus merdeka, dulu merdeka dari penjajahan fisik kolonialisme, dan sekarang merdeka dari penjajahan oleh diri sendiri.
Mengapa diri sendiri? Ya diri sendiri, karena masih terlalu banyak pemuda yang masih tidak memerdekakan diri mereka sendiri. Masih banyak pemuda yang menuntut kemerdekaan tanpa berbuat banyak untuk mengisi kemerdekaan ini. Menjadi oposisi nomor satu, menjadi kritikus nomor satu, namun ternyata sekaligus menjadi penghambat pembangunan nomor satu. Tongkat estafet dirasa begitu berat, ketika diminta untuk memegangnya. Pelarian akan kenyataan, malah menebar isu yang sama sekali tidak tahu dari mana asal dan argumen yang berani dipertanggungjawabkan satu lawan satu.
Disitulah peran generasi pertama, merangkul membimbing mendidik. Formal dan informal harus selaras, sama seperti kebutuhan dan usaha yang harus juga tak bias. Maka, pensiunnya suatu generasi bukanlah akhir dari suatu misi yang mengelabuhi diri, suatu reformasi yang bablas menjadi-jadi, namun awal dari misi untuk mencapai visi yang selaras, kemerdekaan tanpa keterpaksaan, kemerdekaan hakiki ketika semuanya bahu-membahu dalam kerangka nilai. Nilai kebanggaan menjunjung nama Indonesia, nilai keterbukaan menyatakan keragaman Indonesia, nilai kebudayaan mendukung lintas batas identitas dalam cita-cita Indonesia.
Mari, tongkat estafet itu sudah dijulurkan. Jangan takut, jangan sinis dengan kenyataan. Bagaimanapun keadaannya, inilah modal kita untuk membangun semuanya menjadi lebih baik. Yang lalu sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah menunggu.
Enam lima, pensiun generasi pertama.
Satrio Piningit: JK2009 atau Prabowo2014?
Pertanyaan tersebut tiba-tiba menyengat ke dalam otak saya, membangkitkan ingatan saya mengenai hal yang pernah saya baca di berbagai media, mengenai Satrio Piningit. Jejak riwayat Satrio Piningit berujung pada interpretasi para keturunan Jawa-Bali Dwipa terhadap syair seorang pujangga Keraton Surakarta bernama Raden Ngabehi Ronggowarsito.
Lahir dengan nama Bagus Burhan di Yosodipuran Surakarta, tanggal 10 Dulkaidah,tahun Be 1728, pukul 12.00 siang, wuku Sungsang, atau 15 Maret 1802. Masa kecilnya di asuh dilingkungan keluarga para bangsawan Jawa.Setelah mencapai umur 12 tahun dikirim oleh orang tuanya untuk berguru di pesantren Gebang Tinatar, Tegalsari, Ponorogo, dibawah asuhan Kyai Imam Besari. Akhir hayatnya terjadi pada tahun 1873 atau dalam usia 71 tahun.
Diantara karya-karyanya, ada satu karya yang mencuri perhatian banyak orang, dari berbagai lingkungan dan latar belakang profesi. Karya itu adalah Kalatidha. Dalam Kalatidha, Ronggowarsito menuliskan mengenai kedatangan Ratu Adil Herucakra. Ratu Adil yang akan memimpin atau memerintah “wilayah seluas bekas Kerajaan Majapahit.” Dewasa ini, cerita Ronggowarsito dalam Kalatidha tersebut diinterpretasikan sebagai sebuah ramalan akan datangnya para pemimpin Indonesia (Presiden) yang berangkai membentuk suatu pola cerita sesuai urutan Tujuh Satrio Piningit.
Pemilu 2009 berlangsung sebentar lagi, ada 3 capres yang bertarung memperebutkan kursi Satrio Piningit. Calon pertama adalah Hamong Tuwuh dari Kinujoro Murwo Kuncoro, Megawati Soekarnoputri. Calon kedua adalah Boyong Pambukaning Gapuro, Susilo Bambang Yudhoyono. Nha, calon ketiga ini yang masih samar, siapa dia dalam Kalatidha? Jusuf Kalla. Satu cerita lagi, Pemilu legislatif lalu menempatkan seorang pemain kuat lagi, tetapi terpental dari bursa Satrio Piningit, yaitu Prabowo Subianto. Akhirnya Prabowo menurunkan harga untuk tetap bisa berada pada bursa “Pendamping Piningit.”
Ada suatu kemungkinan unik yang saya lihat. Jika kita berpatokan pada Kalatidha, hanya satu orang capres yang belum pernah menjadi Satrio Piningit, yaitu JK. Tetapi, nilai jual seorang SBY masih sangat tinggi untuk ditandingi. Kedua fakta itu memunculkan kemungkinan baru, jika Boyong Pambukaning Gapuro masih melanjutkan amanatnya, maka Prabowo bisa jadi Pinandito Sinisihan Wahyu pada 2014. Kemungkinan ini cukup besar mengingat Prabowo mempunyai daya massa yang besar karena memproklamirkan diri sebagai anak ideologis Kinujoro Murwo Kuncoro. Apakah keideologisan ini merupakan ciri Sinisihan Wahyu yang dibisikkan dari Kinunjoro Murwo Kuncoro yang kita kenal memang sangat “taat kepada Yang Kuasa“? Disamping itu, Jusuf Kalla juga dikenal “taat kepada Yang Kuasa“, bahkan pernah memimpin presidium suatu cabang organisasi keagamaan besar di Indonesia.
Jadi, apakah Jusuf Kalla atau Prabowo Subianto yang menjadi Pinandito? Sebuah kebetulan lagi keduanya mengusung bentuk kemandirian bangsa, yang merupakan ciri menuju Zaman Keemasan. Keduanya mengusung ekonomi kerakyatan sebagai dasar kekuatan menuju kemandirian tersebut.
Sekali lagi, apakah JK, atau Prabowo?