Siang ini, Indonesia mendapatkan sebuah kabar monumental yang mungkin akan menjadi salah satu tonggak penting dari pertumbuhan demokrasi di Indonesia. Akhirnya, Gubernur DKI Jakarta Ir. H. Joko Widodo dicalonkan menjadi calon presiden oleh PDI Perjuangan, partai tempatnya bernaung, melalui keputusan Megawati Soekarnoputri sang Ketua Umum. Diresmikan melalui tulisan tangan langsung dari putri Sang Proklamator, Joko Widodo membuat sebuah sejarah baru sebagai produk demokrasi Indonesia yang terus bertumbuh ke arah yang lebih baik. Dari pencalonan tersebut, terlihat ada beberapa poin menarik yang akan mengubah total pemetaan persaingan dalam Pilpres 2014.

Sejak dua tahun lalu ketika Joko Widodo yang dicalonkan oleh PDI Perjuangan terpilih menjadi Gubernur DKI Jakarta didampingi Basuki Tjahja Purnama (Ahok) dari Partai Gerindra, bangsa ini seperti mendapatkan setetes harapan dari dahaga untuk melihat pejabat-pejabat publik berdedikasi dan tanpa ragu untuk melayani rakyat. Dengan tidak mengesampingkan prestasi dari pejabat-pejabat publik berprestasi lainnya seperti Bu Risma (Surabaya), Kang Emil (Bandung), dll., dan ditambah dengan keuntungan posisi strategis DKI Jakarta sebagai etalase Indonesia, Jokowi-Ahok telah membuat rakyat Indonesia tersentak untuk bangun dan menggelorakan kembali cita-cita reformasi yang sempat menurun secara signifikan akibat masalah-masalah pelik karena tingkah laku elit negara ini, termasuk kasus Cicak vs Buaya yang sempat menyita energi pemerintahan kini, dan bertahannya politisi-politisi tua di tingkat atas pimpinan negri sehingga menghambat regenerasi. Jokowi-Ahok telah membuat rakyat Indonesia mulai melihat tipe pemimpin yang telah dirindukan selama 16 tahun reformasi. Terobosan-terobosan yang telah mulai mengurai keruwetan penanganan ibukota yang telah mengendap selama puluhan tahun menjadi bukti bagi kegigihan Jokowi-Ahok dalam menciptakan Jakarta Baru, yang diharapkan menjadi tonggak sebuah Indonesia Baru menuju pencapaian cita-cita reformasi.

Namun demikian, majunya Jokowi menjadi capres dari PDI Perjuangan juga mungkin akan membuat Prabowo Subianto, capres Partai Gerinda (tempat Ahok bernaung), kepanasan karena elektabilitas Jokowi yang jauh lebih tinggi dibanding dirinya sendiri. Lima tahun lalu (2009), saya pernah menulis mengenai Satria Piningit bangsa ini, apakah JK pada tahun 2009 ataukah Prabowo tahun 2014. Ketika akhirnya SBY terpilih untuk periode kedua, pilihannya hanya tinggal Prabowo seorang. Namun ketika itu Jokowi masih hanyalah seorang walikota di kota kecil Solo yang belum terpilih untuk periode kedua dengan secara fenomenal merebut 90,09% suara rakyat Solo. Pun ketika Jokowi-Ahok dicalonkan oleh PDI Perjuangan dan Partai Gerindra, banyak pendapat mencemaskan posisi Jokowi-Ahok sebagai boneka Prabowo demi memuluskan jalannya merebut kursi RI-1, seperti Tempo yang sempat membuat cover bergambar Prabowo yang menutup wajah dengan separuh gambar wajah Jokowi. Namun akhirnya, Sang Gubernur kurus kering akhirnya malah menjadi lawan tangguh bagi Sang Jenderal untuk memperebutkan singgasana kepresidenan. Jokowi sebagai batu loncatan Prabowo akhirnya menjadi batu licin yang sangat mungkin sanggup membuat Prabowo terpeleset dari lompatannya menuju Istana Negara.

Bandar calon DKI-1Majunya Jokowi juga membuat rakyat Jakarta menjadi bimbang. Di satu sisi mesin Jakarta sedang panas-panasnya bergerak memperbaiki ibukota negara dari segala macam persoalannya. Dan panasnya mesin tersebut dipelopori oleh cekatannya pasangan Jokowi-Ahok yang seperti Soekarno-Hatta itu. Di sisi lain, rakyat Jakarta juga sadar bahwa sebagai ibukota, permasalahan Jakarta tidak bisa diselesaikan lewat kesigapan Gubernur dan Wakil Gubernur saja. Banyak kebijakan dan aturan di Jakarta adalah wewenang dan tanggungjawab pemerintah pusat. Karena itulah mereka membutuhkan keserasian antara Gubernur Jakarta dan Presiden Indonesia. Jika Jokowi terpilih menjadi presiden dan Ahok menjadi Gubernur DKI menggantikannya, maka Jokowi-Ahok adalah pasangan serasi bukan? Di samping itu, rakyat Jakarta juga harus mencoba merelakan Gubernur kesayangan mereka yang sudah akan dipinang Indonesia menjadi pemimpin semua. Namun sebaliknya, secara terselubung masih ada arus ekstrim yang tidak menginginkan Ahok, seorang Ci*a dan ka*ir untuk memimpin ibukota. Walau antipati itu didasari lupa, bahwa jika menjadi Gubernur DKI dia bukanlah pemimpin DKI non-muslim pertama. Sejak jaman Bung Karno Henk Ngantung telah mempelopori itu, dengan Tugu Selamat Datang menjadi salah satu warisannya. Akhirnya, hal-hal besar tersebut telah menjadi kompleksitas yang harus dipertimbangkan oleh warga Jakarta.

Selama 5 tahun terakhir, Prabowo Subianto telah menjadi jagoan tanpa tanding di percaturan bakal calon presiden RI. Bahkan selama lebih dari 5 tahun Prabowo terus menerus mendekatkan diri pada rakyat Indonesia demi meraih suara mayoritas pada Pilpres 2009/2014. Jika 2009 dia gagal karena terpaksa menjadi Cawapres alibat kurangnya persentase suara Gerindra untuk mencalonkan Presiden secara mandiri, maka 2014 akan menjadi penentu karir Prabowo. Jika Gerindra akhirnya bisa menjadi pemenang Pilpres 2014, atau minimal 3 besar dengan suara sekitar 15%-18%, maka jalannya menjadi Presiden RI ke-7 akan semakin mulus. Namun jika PDI Perjuangan, dengan pengaruh Jokowi Effect, akhirnya mencapai 20% sebagai batas minimal pencalonan presiden, atau bahkan 27,02% seperti target mereka, maka Jokowi akan punya modal kuat untuk menjegal Sang Jenderal. Jangan dilupakan pula Aburizal Bakrie (Partai Golkar) dan Dahlan Iskan/Anies Baswedan (Partai Demokrat) yang mungkin akan menjadi kuda hitam di Pilpres 9 Juli 2014. Jika pun akhirnya hanya Prabowo dan Jokowi yang maju menjadi capres, maka Pilpres akan menjadi ajang yang sangat seru dengan persaingan tajam seperti Pilpres di Amerika Serikat. Jika ada tiga/lebih kandidat, maka malah kandidat di luar Prabowo dan Jokowi yang akan menentukan kelanjutan Pilpres, dengan melihat irisan pendukungnya terhadap Prabowo atau Jokowi.

Di luar itu semua, kemunculan Jokowi sendiri adalah sebuah fenomena. Apakah fenomena tersebut akan berlanjut di tataran pimpinan negeri? ataukah Sang Jenderal yang akhirnya bisa meraih mimpi? Pilpres 2014 itu sendiri adalah gerbang masuk yang menentukan nilai kompetitif dari Indonesia dalam globalisasi yang akan masuk fase tingkat penuh ASEAN tahun depan. Apakah Jokowi dengan kesederhanan dan kecekatannya yang akan memimpin melalui masa penentuan? ataukan Prabowo yang akan memimpin menuju masa keemasan? Rakyat Indonesia yang akan menjawabnya.