Indonesia tidak sehat, namun Indonesia masih dan akan terus mampu ke masa depan melihat. Indonesia tidak berjalan tegak, namun Indonesia masih berjalan dengan gagah dan terus bergerak. Enam lima usianya, masih enam lima dan akan terus bertambah sampai angka tidak terbatas bahkan melebihi googol yang terbatas. Enam lima usianya, masih enam lima dibandingkan banyak negara lain yang melebihi, dan banyak negara lain yang kurang dari.

Entah itu hakim agung, presiden, menteri, atau karyawan swasta, inilah batas alami ketika generasi yang lahir sebelum 45 mencapai titik istirahat. Mereka butuh istirahat sebagaimana profesor-pun membutuhkan ketenangan disaat otaknya masih terlalu brilian untuk diistirahatkan. Enam lima takkan menghapus mereka, namun enam lima adalah saat yang tepat untuk melepaskan segala ambisi yang masih menderu untuk memimpin bangsa. Berubahlah menjadi penuntun, dan teruslah menuntun. Namun tuntunan orang tua jangan pernah menjadi pengendali atas masa depan bangsa ini.

Bisa dilihat, salah satu tanda dimulai dari dekan termuda suatu fakultas bergengsi, dilanjutkan ketua umum suatu partai besar, dan terus menerus berlanjut menjadi pergantian massal pemegang tongkat estafet itu. Kepercayaan yang tadinya berisi kesinisan mengenai kemampuan, hendaknya dilebur dengan kebutuhan untuk memberdayakan modal. Dua ratus dua puluh juta bukan angka yang kecil untuk mencari jutaan penerus yang (minimal) akan sebanding dengan generasi pertama pada puncak jayanya.

Amputasi massal, mungkin itu mimpi ideal dalam suatu ide yang bengal. Inilah faktanya. Fakta tak kasat mata untuk dapat mengakui bahwa amputasi massal sedang berlangsung. Bukan amputasi karena kecacatan, namun amputasi ranting-ranting sebuah negara untuk mempersilahkan tumbuhnya tunas-tunas baru menjadi batang yang lebih perkasa. Indonesia akan terus merdeka, dulu merdeka dari penjajahan fisik kolonialisme, dan sekarang merdeka dari penjajahan oleh diri sendiri.

Mengapa diri sendiri? Ya diri sendiri, karena masih terlalu banyak pemuda yang masih tidak memerdekakan diri mereka sendiri. Masih banyak pemuda yang menuntut kemerdekaan tanpa berbuat banyak untuk mengisi kemerdekaan ini. Menjadi oposisi nomor satu, menjadi kritikus nomor satu, namun ternyata sekaligus menjadi penghambat pembangunan nomor satu. Tongkat estafet dirasa begitu berat, ketika diminta untuk memegangnya. Pelarian akan kenyataan, malah menebar isu yang sama sekali tidak tahu dari mana asal dan argumen yang berani dipertanggungjawabkan satu lawan satu.

Disitulah peran generasi pertama, merangkul membimbing mendidik. Formal dan informal harus selaras, sama seperti kebutuhan dan usaha yang harus juga tak bias. Maka, pensiunnya suatu generasi bukanlah akhir dari suatu misi yang mengelabuhi diri, suatu reformasi yang bablas menjadi-jadi, namun awal dari misi untuk mencapai visi yang selaras, kemerdekaan tanpa keterpaksaan, kemerdekaan hakiki ketika semuanya bahu-membahu dalam kerangka nilai. Nilai kebanggaan menjunjung nama Indonesia, nilai keterbukaan menyatakan keragaman Indonesia, nilai kebudayaan mendukung lintas batas identitas dalam cita-cita Indonesia.

Mari, tongkat estafet itu sudah dijulurkan. Jangan takut, jangan sinis dengan kenyataan. Bagaimanapun keadaannya, inilah modal kita untuk membangun semuanya menjadi lebih baik. Yang lalu sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah menunggu.

Enam lima, pensiun generasi pertama.