TUHAN (Nama, Kelamin, dan Kesadaran)

Keyakinan, agama, adalah fondasi hidup. Namun jangan sampai ketika mati dan dianggap salah, lalu Anda protes "mengapa saya bersalah, padahal hidup saya sangat agamis?" Lalu Sang Pengadil menjawab, "mari kita lihat hidupmu". Dan ketika melihat hidup Anda, ternyata hanya ada seonggok fondasi disana, fondasi saja namun tidak ada bangunan yang berdiri di atasnya.

“Kita harus menyembah Allah!”
“Tidak, YHWH-lah yang kita sembah!”
“No, He didn’t have a name.”

Lalu, siapakah Dia?

Sudah terlalu banyak orang yang berkutat pada permasalahan yang -dianggap- mendasar namun tidak berhasil menyentuh kedalaman-Nya. Berdebat mengenai nama (atau Nama?) Tuhan sama dengan berusaha mempermasalahkan jenis kelamin-Nya. Ketiga Ibrahimik, yang satu dengan “kami umat Tuhan”, yang satu dengan “kami anak Tuhan”, yang satu dengan “kami hamba Tuhan,” ketiganya saling terkam “jangan anggap hanya kalian umat Tuhan”, “Tuhan itu tidak beranak”, “kita bukan hamba lagi, melainkan rekan Tuhan.”

Pusing? Bagus, berarti Anda berpikir!

Hmm, atau Anda malas mendalami-Nya?

NAMA

Ibrahimik pertama mengenal 270 nama (atau Nama?) Tuhan, Ibrahimik kedua ditambah beberapa sapaan (atau Sapaan?) kecil, dan Ibrahimik ketiga mengenal 99 nama (atau Nama?) Tuhan. Apakah selisih sekitar 170 nama merupakan sebuah kesesatan?
Kebetulan, 2 nama yang paling populer dan ironisnya menjadi salah satu sumber deadlock adalah YHWH dan Allah. Ironis, karena ternyata dua kubu tersebut hanya suka berperang dan tidak mengalami kesadaran mengenai kedalaman-Nya. Masalahnya serupa ketika berdebat mengenai jenis kelamin-Nya, “He“, “She“, atau “It“? Ada juga yang berdebat mengenai penggunaan “anak” dan “hamba.”
Apa kesimpulan dari perdebatan itu? Kesimpulannya adalah, kedua kubu selalu berfokus pada penyalahan orang lain, namun tidak peduli kubu mereka sendiri benar atau salah.

KELAMIN

Jika banyak kaos bertuliskan “Tuhan, agama-Mu apa?”, maka sepertinya akan ada produksi baru bertuliskan “Tuhan, jenis kelamin-Mu apa?”

Berdebat mengenai jenis kelamin berhulu unik. Indonesia dengan “Dia”, Inggris biasa menulis dengan “He”, Arab dengan “Dzat”, dan Yahudi dengan El/”The”. Ironis, kalau orang-orang dengan latar belakang budaya yang berbeda berdebat mengenai sesuatu yang hanya berada di sisi masing-masing.

Sebenarnya mudah kalau kita mendalami, sadar akan apa yang sebenarnya terjadi.

Indonesia bicara “Dia”, karena Indonesia tidak punya personal pronoun untuk masing-masing laki-laki dan perempuan.
Inggris bicara “He”, karena menganggap Dia itu perkasa dan merupakan kepala dari seluruh dunia serta surga.
Arab bicara “Dzat”, karena Arab bicara mengenai peleburan jenis kelamin pada diri-Nya.
Yahudi bicara “The”, karena Yahudi menganggap Dia-lah Dia.

Jadi, mana yang benar?

Keempatnya benar! Yang repot adalah ketika masing-masing menginvasi tatanan yang lain tanpa melihat propagasinya.

Hmm, ternyata ada yang menarik.

Dia, atau menjadi -Nya jika disambungkan dengan kata lain, merupakan transliterasi dari “He”, “She”, dan “It”. “He”, “She”, dan “It” merupakan personal pronoun bagi obyek yang ditunjuk, dan jika obyek tersebut pasti/spesifik, maka akan ditambah dengan “The”, “yang itu”. Ketika Arab menyebut “Allah”, artinya adalah “The God”, “Tuhan yang itu/ini lho, spesifik, bukan yang lain”, dan “The” ternyata merupakan transliterasi dari pemahaman “Self-Existing One”, “The God”, “YHWH”, “I Am that I Am”, “Dia-lah Dia”.

Jadi, ternyata keempat contoh tersebut sebenarnya bermuara pada pemahaman yang saling berkait, namun perlu dipilah secara jernih, tanpa ego. Perdebatan sebenarnya hanya berkisar seperti kenyataan berikut:

Jawa mengenal ‘benda itu‘ adalah ‘kates
Indonesia mengenal ‘benda itu‘ sebagai ‘pepaya
Sunda mengenal’-nya‘ sebagai ‘gedhang
Padahal di Jawa, ‘gedhang‘ itu adalah ‘pisang

Jadi, yang benar mana? Benda apa yang mereka maksud? Pisang ataukah pepaya?
Jika Anda berdebat mengenai jenis kelamin Tuhan, Anda seperti sedang berdebat mengenai pisang dan pepaya.

ANAK dan HAMBA

Lalu, apa yang terjadi dengan “anak” dan “hamba”?
Kubu yang satu menganggap “yang menyebut kita itu anak Tuhan, sesat! karena Tuhan tidak beranak dan tidak diperanakkan“. Kubu satunya menganggap “kita bukan hamba! kita itu rekan Tuhan untuk memelihara bumi ini. Kita ikut bertanggungjawab terhadap bumi ini“.

Bahasa gaul-nya, “ga nyambung.”

Sebenarnya sederhana, namun sulit untuk disadari banyak orang, apalagi diterima.

anak” itu melambangkan “kedekatan
hamba” melambangkan “kepatuhan

Sederhana kan? Tidak ada yang salah di masing-masing pemahaman, yang salah adalah ketika salah satu menginvasi tanpa melihat propagasi, kesesuaiannya.

KESADARAN

“anak” dan “hamba” adalah simbol ketika kita memahami posisi kita terhadap The Self-Existing One yang kita sebut sebagai Tuhan, bahwa kita itu “siapanya Dia”.
“One” disini jangan didebat lagi dengan perdebatan “Tuhan itu ada berapa?”, namun “The One” disini adalah kata ganti untuk menunjuk “yang itu”, “spesifik”, “yang dimaksud”.

Nama, sebutan, adalah apa yang kita pahami dari Beliau. Tidak ada masalah kata apa yang kita pilih.
Kata itu adalah simbol, sama seperti huruf sebenarnya adalah sebuah gambar yang bermakna spesifik. Simbol apa yang kita yakini, itu yang membentuk makna yang kita yakini dari simbol.
Permasalahannya adalah ketika saling menjauh dari kenyataan yang sebenarnya, saling menutup kemungkinan untuk memahami apa “yang berbeda”. Memilih-milih apa yang diyakini, tanpa mendalami apa yang sebenarnya dia yakini.

Semuanya itu simbol. Everything’s symbolized. “anak” ataupun “hamba” hanyalah simbol, nama adalah simbol, personal pronoun adalah simbol.
Mari kita merendahkan hati untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi. Makna dari simbol, seperti cerita Tower of Babel.

Keyakinan, agama, adalah fondasi hidup kita. Namun jangan sampai, ketika kita mati dan dianggap salah, lalu Anda protes “mengapa saya bersalah, padahal hidup saya sangat agamis?”
Lalu Sang Pengadil menjawab, “mari kita lihat hidupmu”.
Dan ketika kita melihat hidup kita, ternyata kita hanya melihat seonggok fondasi disana, fondasi saja namun tidak ada bangunan yang berdiri di atasnya.

Karena itu, mari kita naik level, jangan berada di bawah terus. Mari kita membangun bangunan masing-masing, bangunan kehidupan dengan tugas masing-masing, yang akhirnya akan membentuk dunia yang menyadari bahwa kita saling melengkapi.

Lepaskan Dia dari pemahaman kita, jangan masukkan Dia dalam otak kita, karena otak kita tidak akan kuat untuk menampung-Nya. Dia-lah Dia.

4 comments

  1. Riska Ramali - January 2011 09:31

    Saya jadi refleksi ni setelah baca tulisan ini.

    Reply
  2. Mbah M - January 2011 10:12

    Semoga refleksimu bermanfaat bagi kehidupan..

    Reply
  3. Ade' Laras - January 2011 16:11

    Thx 4 the inspiring note…
    Tuhan yang kami sebut dengan berbagai nama…
    Yang kami sembah dengan berbagai cara…
    Kami letakkan segala tujuan dan harapan kepada Engkau…

    Reply
  4. Mbah M - January 2011 18:53

    Ketika kita berhasil melepaskan diri atas dogma-dogma yang dibangun kita sendiri, maka ketika itulah kita dengan penuh mempersilakan Tuhan untuk berkuasa penuh atas diri kita.
    Mengosongkan diri untuk memperoleh kepenuhan Tuhan dalam kedalaman diri kita.
    Keadaan itulah yang disebut dalam Buddhis sebagai Tatagathagarbha “kosong adalah berisi, berisi adalah kosong”, Nasrani menyebutnya “Aku di dalam kamu dan kamu di dalam Aku”, Jawa dan Islam Sufi menyebutnya “Manunggaling kawula Gusti”.

    Ketika itulah pintu akan dibukakan, dan kita dengan bersih akan memahami, kita sebenarnya menjadi partikel dengan fungsi apa dalam tatanan alam semesta ini.

    Reply

Have your say