Vox populi, vox Dei
The voice of the people [is] the voice of God

Frase tersebut disebarluaskan oleh seorang sejarawan Inggris, William of Malmesbury, pada abad ke-12. Jejak sebelumnya ditemukan pada sebuah surat dari Alcuin kepada Charlemagne pada akhir abad ke-8.

Vox populi secara literasi mempunyai arti “voice of the people,” sedangkan vox Dei mempunyai arti “voice of God,” dan selanjutnya menjadi sebuah nilai kearifan politis ketika disatukan dan dipergunakan untuk menyimbolkan kekuatan rakyat yang mencerminkan kehendak Tuhan atas suatu keputusan negara. Namun, apakah memang seperti itu?

Bercermin pada kenyataan masa lampau, ada sebuah kejadian yag melibatkan populi sebagai tokoh utama, yaitu Tower of Babel. Disamping itu pada sebuah simbolisme dalam ajaran salah satu keyakinan Abrahamik, yaitu manusia mempunyai tugasnya masing-masing sebagai anggota dari Tubuh TUHAN.

Setiap manusia itu spesial, masing-masing merupakan orang biasa bagi dirinya sendiri, namun istimewa bagi orang lain. Keistimewaan masing-masing terletak pada talenta yang diberikan secara khusus, walau dengan kemiripan namun tak pasti sama, akhirnya melengkapi satu dengan yang lain. Ketika satu manusia bersatu dengan manusia lain, maka keistimewaan itu akan melebur. Satu dengan satu, dua ditambah satu, tiga ditambah satu, dan bertambah terus. Renungkan, ketika seluruh manusia bersatu, bagaimanakah hasil dari peleburan itu? Sebuah citra mahadahsyat akan muncul, sebuah kemampuan mahatinggi akan muncul, Vox populi vox Dei yang sebenarnya.

Ternyata, citra mahadahsyat tersebut merupakan perwujudan kenyataan dari simbolisme dalam ajaran tersebut. Ya, persatuan umat manusia adalah sebuah kesempurnaan Tuhan, dan ketika persatuan umat manusia itu terjadi, muncullah “Tuhan” lain. Dan kita tahu, Yang Tertinggi akhirnya menggagalkan rencana itu, lalu memecahbelah umat manusia menjadi bermacam bahasa, untuk mencegah munculnya “Tuhan” lain tersebut, yang berasal dari ego persatuan umat manusia.

And those people should not be listened to who keep saying the voice of the people is the voice of God, since the riotousness of the crowd is always very close to madness.

Alcuin (798 Masehi)

Saat ini, kearifan politis dari frase tersebut ternyata menjadi senjata yang ampuh untuk menekan kekuasaan sebuah negara. Ironis, bahwa vox populi dalam sebuah negara dikendalikan oleh aliran informasi dari sumber yang itu-itu saja, walau melalui banyak orang. Vox populi vox Dei menjadi kabur artinya, dan memunculkan egoisme golongan. Dan banyak orang tidak sadar bahwa vox populi vox Dei adalah nilai seluruh manusia di bumi, bukan secuplik manusia di suatu negara, apalagi sekumpulan manusia dari golongan yang sama.

Ketika lambat laun cita-cita menyatukan umat manusia di bawah satu pemerintahan kembali muncul, banyak orang tidak sadar bahwa Tower of Babel telah memasuki episode baru. Menara Babel, dibungkus oleh kearifan lain yang memuaskan dahaga kemanusiaan. Ya, vox populi vox Dei menemukan kembali bentuk aslinya, vox populi vox Dei lahir kembali dari rahim politis dan religiusitas golongan.

Lalu, apakah kita akan mengulangi lagi kesalahan masa lalu? Merasa bahwa persatuan umat manusia adalah sebuah tujuan suci, dengan tidak sadar bahwa ketika tujuan tersebut tercapai maka akan muncul “Tuhan” lain, vox populi vox Dei? Dengan cara seperti itukah manusia akan mencapai surga, atau malah itu jalan pintas menuju surga?

Dua pertanyaan terakhir:

Siapakah perencana babak baru Tower of Babel ini?
Siapakah yang berusaha membawa manusia untuk menyamai Tuhan?

Sadarilah hal ini.