Bila Nabi Muhammad yang dinista, maka media massa dengan buas melahapnya. Para petinggi dan pesohor pun akan angkat bicara. Demonstrasi marak dimana-mana, masih ditambah potensi kerusuhan, entah itu skala kecil atau besar. Polisi pun tidak tinggal diam, bergegas menangkap si pelaku. Lalu diikuti pengadilan yang lagi-lagi mendapat sorotan media massa. Manusia-manusia yang sehari-hari tidak peduli pun menjadi pura-pura ikut peduli dan ikut panas.

Tapi ketika Nabi Isa Al Masih Al Kalamullah yang dilecehkan, hanya segelintir media berani angkat bicara. Itu pun hanya satu hari. Bahkan suatu koran elektronik segera menghapus beritanya, berselang beberapa jam setelah berita tersebut diterbitkan. Tak ada demonstrasi, tak ada ancaman amuk masa. Muncul di halaman satu Kyai Google cuma terhitung sampai 3 hari. Mabes POLRI yang mengetahui berita itu diam seribu bahasa. FPI yang biasanya ganas dan bar-bar ketika ada sosok nabi yang dicelapun terdiam seperti mayat. Apakah karena yang dicela adalah Isa Al Masih sehingga tak ada yang peduli? Ataukah karena yang melecehkan adalah sesosok menteri sekaligus petinggi Partai Keadilan Sejahtera yang notabene adalah partai yang [seolah-olah] Islam sehingga semua terbungkam? Jauh semenjak sebelum negara ini merdeka, umat Al Masih pribumi memang di-anak tiri-kan di negeri ini, tapi sungguh mengerikan bila tindakan peng-“anak tiri”-an itu terlalu nampak menyolok seperti saat ini, bahkan jauh lebih menyolok mata dibanding jaman penjajahan.

Perilaku sex bintang film memang lumrah untuk di-blow up media masa. Namun, apalah itu bila dibandingkan dengan besarnya kesalahan Tifatul Sembiring yang menghujat Isa Al Masih dengan memperbandingkan sosok mulia itu dengan pemeran utama film porno? Sok Pahlawan dengan berusaha membungkam mulut para blogger dan forumer dengan RUU ITE, sementara yang harusnya dibungkam justru mulutnya sendiri yang tak kenal rasa hormat kepada Isa Al Masih yang dilantik oleh Allah menjadi Raja Diraja, Sang Pengadil Terakhir. Kiranya Allah menampar “mulut harimau” Tifatul Sembiring.

Sungguh memuakkan menonton “binatang” televisi yang dengan buas hendak melahap perilaku seks, tapi tidak doyan melahap perilaku pelecehan yang lebih parah. Apakah itu karena pelaku pelecehan nabi itu menteri yang berkuasa atas media masa sehingga televisi jadi enggan untuk mem-blow-up-nya? Ataukah karena media punya nafsu sex yang besar, lebih dari penghargaannya kepada Isa Al Masih?

Apakah itu yang disebut sebagai keadilan yang diperjuangkan oleh partainya Tifatul Sembiring yang bernama Keadilan? Partai yang [konon] memperjuangkan keadilan tapi nampak jelas tidak memperjuangkan keadilan ketika bos besarnya yang duduk di dewan syuro justru pelaku ketidakadilan itu sendiri. Kalau begitu, ada baiknya bila partai tersebut berganti nama menjadi Partai Boro-Boro Adil saja.

Beranikah kita mempercayakan masa depan negeri dan bangsa ini kepada manusia macam Tifatul Sembiring ini? Tidak takutkah kita dengan standar ganda yang dipakainya? Tidak takutlah kita bila suatu saat mereka akan mengkhianati dan menerkam kita seperti rubah menerkam ayam hutam? Relakah kita bila kelak, ketika dia makin berkuasa, maka dia akan semakin getol melecehkan Isa Al Masih yang termasuk junjungan kita dan bahkan mungkin pula nabi-nabi lain?

Menghormati Isa: Meneladani Muhammad

Umat nabi Muhammad yang sejati tidak akan mungkin melakukan perbandingan yang tidak senonoh semacam itu, karena nabi Muhammad tidak pernah memperbandingkan Isa Al Masih dengan sesuatu yang tidak sepantasnya. Nabi Muhammad juga berlaku pelindung terhadap umat Al Masih, terlebih istrinya (Siti Khadijjah), pamannya (Waraqah bin Naufal), dan ibu angkatnya (Halimah) adalah umat Al Masih yang saleh. Bahkan Waraqah bin Naufal adalah pemimpin umat Al Masih di Mekah dan yang menikahkan nabi Muhammad dengan Siti Khadijjah.

Berdasarkan fakta sejarah ini, maka kita dapat menganggap bahwa Tifatul Sembiring bukan umat sejati Nabi Muhammad, dengan kata lain, dia adalah “barang palsu”, “produk palsu”, atau “produk gagal” . Bila dia adalah “barang palsu”, mengapa “barang palsu” bisa menjadi anggota Dewan Syuro suatu partai yang katanya partai agamis? Mengapa pula partai itu diam saja ketika nabi Isa Al Masih yang merupakan satu dari 25 nabi dilecehkannya? Apakah itu berarti partai tersebut permisif terhadap tindakan pelecehan kepada nabi asalkan nabi yang dilecehkan itu bukan nabi Muhammad? Ataukah mereka sama palsunya? Untuk membuktikan bahwa partai itu bukan partai yang terdiri dari “barang palsu” sungguh mudah: pecat Tifatul Sembiring dari jabatannya secara tidak hormat! Tindakan ini akan meyakinkan umat bahwa partai tersebut tidak mentolerir “barang palsu” di dalam jajaran pimpinannya dan akan kembali memulihkan citra partai yang telah tercabik dan terkoyak akibat perilaku oknumnya itu.