Sebuah renungan akan apa yang disebut dengan kesucian
Masih relevankah sebuah norma dalam kondisi dewasa ini. Ketika pertanyaan mengenai sebuah ketidaksucian meluncur begitu saja tanpa rasa bersalah ketika memang benar-benar terjadi. Lagi dijawab dengan suatu kepolosan, mungkin bercanda, mungkin menyamarkan kenyataan dengan bercanda, pastinya tak ada rasa canggung ketika mengamini pertanyaan yang sebenarnya mempertanyakan martabat seorang wanita. Nurani ini langsung menjerit, tapi tak ada yang bisa kulakukan, karena kontradiksi hanya akan membawa perpecahan dan bukan pemahaman dalam relasi pertemanan di kota besar ini.
Mendengar dengan telinga sendiri anugerah Sang Ilmuwan Besar ini, teringat dengan peribahasa yang sedang ramai diperbincangkan,
Tak ada gadis yang tak retak
Semuanya akan musnah bagi seorang laki-laki yang secara hakiki memahami apa yang disebut martabat wanita. Wanita bukan makhluk sembarangan sebagai sebuah obyek. Wanita adalah subyek nyata dalam sebuah kehidupan suci dari relasinya terhadap laki-laki. Wanita tidak boleh macam-macam, tetapi laki-laki juga tidak. Keseimbangan itu yang diciptakan TUHAN seharusnya menjadi jalan yang terang untuk menjaga martabat wanita.
Apa lacur, semuanya menjadi buram ketika dunia menjadi lingkungan yang mengerikan. Berkaca pada sebersit tulisan dalam Kitab Suci seorang Guru Besar, bahwa dunia ini dikuasai Sang Penyesat selama waktu yang ditentukan, ternyata benar adanya. Kesenangan pribadi dan ketidakpedulian akan martabat menjadi awal mula dari penginjakan martabat itu sendiri. Aneh bila seorang wanita marah karena merasa tidak dihormati dalam sebuah relasi pertemanan, tetapi malah melakukan penginjakan harga diri dan martabat yang dilakukan oleh dirinya sendiri.
Habis gadis sepah dibuang
Itu yang terjadi, dan sedikitnya ditimbulkan oleh perilaku wanita sendiri. Disini tidak akan bicara mengenai laki-laki, akan dibahas dalam kesempatan lain.
Ada dua jenis wanita di kota besar ini. Satu wanita dengan semua atribut keagamannya, dan satu wanita dengan atribut keberagamannya. Semuanya menjadi semakin jauh dari titik pertemuan untuk membangun kehidupan dengan lebih baik. Yang pertama sibuk dengan dunianya yang serba suci, serba bersih dari keduniawian, tetapi malah lupa untuk memberantas keduniawian itu dalam diri mereka. Mereka terlalu sibuk dengan atribut, terlalu sibuk dengan pertemuan-pertemuan besar dengan pemimpinnya, tanpa berbuat nyata melewati kurungan suami. Yang kedua sibuk dengan semua urusan yang supersibuk, yang soksibuk, dan yang sibuksekalisampaimengingatsajatakbisalagi. Keduanya tak bertemu, satu menjauh, yang satu juga menjauh, jadi dua kali menjauh jarak diantara mereka. Hasilnya, kita melihat sebuah kota besar yang berkembang di luar tetapi hancur di dalam. Sebuah Paris van Java yang agung sebagai raja tetapi bobrok sebagai keluarga.
Lalu, apa arti sebuah kesucian? Sebuah kejujuran akan apa yang disebut anugerah. Hanya satu istri dan satu suami, hanya satu tubuh dalam satu kehidupan yang pernah bersatu dengan seorang pribadi. GOD, what am I supposed to do…?